Studi: Orang di Dataran Tinggi Minim Risiko Terinfeksi Covid-19

June 06, 2020 | Iman

Dataran tinggi

Pandemi Covid-19 telah menyebar ke seluruh penjuru dunia tanpa kenal strata ekonomi dan usia. Namun sebuah penelitian baru  menemukan fakta bahwa orang yang tinggal di dataran tinggi terutama 3.000 meter di atas permukaan laut (mdpl) lebih kecil kemungkinannya terinfeksi COVID-19.

Dalam jurnal Respiratory Physiology & Neurobiology, di mana para peneliti dari gabungan Australia, Bolivia, Kanada dan Swiss meninjau data epidemiologi dari kasus Bolivia, Ekuador dan Tibet. Studi tersebut menyimpulkan bahwa tingkat infeksi di Tibet "secara drastis" lebih rendah daripada di Cina yang memiliki dataran rendah, serta tiga kali lebih rendah dibandingkan Andes Bolivia dan empat kali lebih rendah di Andes Ekuador.

Cusco di Peru, di mana wilayah dengan ketinggian tinggi yang memiliki 420.000 penduduk, mencatat hanya tiga kematian wisatawan luar negeri sejak awal penguncian wilayah. Sejak itu, belum ada catatan kematian COVID-19, bahkan ketika penyakit tersebut telah merenggut lebih dari 4.000 nyawa secara nasional. Tingkat infeksi juga tetap rendah, hanya 916 dari 141.000 kasus Peru berasal dari wilayah Cusco (data awal Juni 2020). 

Demikian pula Ekuador yang mana menjadi salah satu negara terdampak di Amerika Latin. Lebih dari 38.000 kasus dilaporkan dan 3.300 kematian, sebagian berpusat di pelabuhan. Begitu juga 8.387 kasus Bolivia yang terkonsentrasi hanya beberapa ratus kaki di atas permukaan laut. Tetapi di wilayah La Paz yang merupakan pusat pemerintahan yang berada di dataran tinggi hanya memiliki 410 kasus.

Para peneliti berhipotesis bahwa orang yang tinggal di ketinggian mungkin mendapat manfaat dari kombinasi kemampuan untuk mengatasi hipoksia (kadar oksigen rendah dalam darah) dan lingkungan alami yang tidak disukai virus seperti faktor udara, kadar UV, tinggi radiasi dan kemungkinan tekanan barometrik yang lebih rendah. Semua hal ini mengurangi kemampuan virus untuk berlama-lama di udara.

YesDok Ads

Para ilmuwam mencurigai tren itu mungkin lebih erat terkait dengan aklimatisasi, kemampuan tubuh untuk menyesuaikan ketinggian, daripada dengan DNA. Paparan di ketinggian yang berkepanjangan memicu reaksi berantai di paru-paru yang melibatkan protein yang dikenal sebagai ACE2 yang mungkin mencegah shunting paru, masalah yang umum di antara pasien COVID-19.

Secara umum, ketika bagian dari paru-paru rusak, tubuh mengarahkan aliran darah ke area yang lebih sehat yang dapat menyerap oksigen dengan cara yang lebih baik. Shunting menghentikan proses pengalihan tersebut, menghasilkan hipoksia. Elemen umum yang dilaporkan di antara 30 persen pasien COVID-19 yang menunjukkan gejala ringan namun memiliki kadar oksigen yang sangat rendah dalam darah mereka dan kadang mengalami perubahan lebih buruk. 

Tetapi para peneliti masih mencari lebih banyak bukti untuk membangun hubungan antara keduanya. Sebagaimana menurut WHO, diketahui corona menyerang siapa saja. Yang terpenting adalah bagaimana kita tetap mempraktikkan hidup sehat menuju era penormalan baru.

(Foto: stayaspensnowmass)

YesDok Ads