Menjawab Beragam Mitos Terkait Vaksin

October 14, 2020 | Helmi

vaksin

Pemerintah Indonesia mengumumkan akan memulai vaksinasi corona pada masyarakat pada bulan November 2020. Pihak Pemerintah telah melakukan pemesanan kepada sejumlah produsen vaksin yang telah lolos uji klinis.

Meski dianggap sebagai salah satu cara untuk menghentikan pandemi virus corona, masih ada saja masyarakat yang enggan menjalani vaksinasi. Kebanyakan dikarenakan percaya pada beberapa mitos tertentu.

Berikut ini adalah beberapa jawaban atas mitos terkait vaksin yang sebaiknya Anda ketahui, sebagaimana disampaikan oleh Windhi Kresnawati, dokter spesialis anak dari Yayasan Orangtua Peduli.

Mitos Penyakit infeksi bisa dihindari dengan gaya hidup sehat

Banyak yang beranggapan bahwa penyakit infeksi bisa hilang atau dihindari hanya dengan menerapkan gaya hidup sehat semata. Padahal tidak demikian.

Windhi memberikan contoh saat ditemukannya vaksin campak pada tahun 1963. Penyakit ini berangsung menghilang dan pada tahun 1974 pemerintah Amerika Serikat menyatakan bahwa mereka bebas campak.

Kondisi ini mulai berubah saat di AS mulai muncul kelompok masyarakat yang meragukan vaksin MMR (campak, beguk, rubella). Lalu diikuti dengan semakin banyak orang ragu terhadap peran vaksin campak.

"Akibatnya, tahun 2018 Amerika Serikat kembali mengalami wabah campak. Ini disebabkan banyak pendatang dari negara lain yang tidak vaksin dan refuse vaksinasi tinggi," ujar Windhi.

Mitos anak yang diimunisasi tetap saja sakit.

Untuk menjawab mitos ini Windhi menjelaskan, bila kembali mengalami sakit, tingkat keparahan yang dialami pasien imunisasi relatif sangat ringan. Anak-anak yang diimunisasi, bila sakit, akan terhindar dari kecacatan dan kematian.

"Dan jangan lupa, kalau Anda tidak diimunisasi dan Anda tidak sakit, berterimakasihlah kepada orang yang diimunisasi. Karena itulah herd immunity. Ketika kita berada di tengah orang-orang yang sehat, kita tidak terjangkit penyakit," ujar Windhi.

Mitos vaksin ada kandungan zat berbahaya

YesDok Ads

Windhi menegaskan bahwa anggapan ini merupakan sebuah kekeliruan. Vaksin yang sudah diproduksi massal harus dan telah memenuhi syarat utama: aman, efektif, stabil, dan efisien dari segi biaya.

"Setelah dinyatakan aman, dipakai oleh masyarakat luas di bawah monitoring. Kalau negara kita di bawah BPOM. Karena satu saja ada temuan efek samping yang tidak diinginkan itu bisa ditarik dan biasanya itu ketahuan di fase awal," ujar Windhi.

Mitos vaksin sebabkan autisme

Hal ini sudah terbukti pada penelitian mendalam dan panjang, bahkan hingga lebih dari 10 tahun. Thimerosal merupakan salah satu kandungan vaksin yang sempat dituduh memicu autisme pada anak. Thimerosal ini berfungsi sebagai pengawet vaksin.

Amerika Serikat pernah menghapuskan kandungan thimerosal pada tahun 1999 karena takut bahwa kandungannya bisa memicu autisme. Tapi faktanya, setelah thimerosal dihapuskan, angka autisme di Amerika Serikat tidak turun.

Peneliti juga melihat kadar thimerosal pada tubuh anak autis dan anak non autis. Hasilnya, tidak ada perbedaan di antara keduanya. Hal ini semakin menguatkan bahwa thimerosal tidak menyebabkan autisme, melainkan genetika.

Mitos penyakit yang sudah ada vaksinnya, tak perlu vaksinasi lagi

Banyak riset menunjukkan bahwa penurunan angka vaksinasi memicu kenaikan penyakit spesifik yang dilawan vaksin tersebut. Hal ini sempat terjadi di Indonesia pada medio akhir 2017 lalu.

Awalnya wabah difteri terjadi di Jawa dan merambah ke Sumatra. Pemerintah pun memutuskan untuk melakukan imunisasi nasional dan menggratiskan imunisasi difteri hingga usia 19 tahun.

"Di AS juga terjadi, tahun 2018 angka imunisasi turun dan muncul lagi. Polio sempat muncul kembali di Papua, padahal kita pernah dapat bendera bebas polio dari WHO. Campak rubella masih mengancam karena banyak hoaks tadi. Jadi hati-hati, kalau angka mulai turun dan kita hadapi wabah ini sangat menderita," jelas Windhi.

(Foto: USC News)

YesDok Ads